Berawal dari usaha kursus kecil-kecilan,
kini Bina Sarana Informatika berkembang pesat menjadi akademi pendidikan
ternama dan punya 36 kampus. Bagaimana kewirausahaan di baliknya?
“Mulailah berwirausaha dari skala kecil, dan
rintislah usaha sedari usia Anda masih muda.” Nasihat ini tampaknya
dihayati dan dijalankan betul oleh lima sekawan — Naba Aji Notoseputro,
Herman P., Efriadi, Surachman dan Sigit – dalam merintis bisnis
pendidikan hingga mencapai sukses seperti sekarang. Bina Sarana
Informatika (BSI) menjadi bukti ketekunan Naba dkk. membangun bisnis
sendiri dari skala kecil..links { font-family: Verdana,
Helvetica, sans-serif; color: #B50000; text-decoration: none; }
.links:hover { font-family: Verdana, Helvetica, sans-serif; color:
#B50000; text-decoration: underline; } .normal { font-family: Verdana,
Helvetica, sans-serif; font-size: 8pt; color: #000000 }
Semua itu berawal pada 1988, ketika lima sekawan tersebut tengah
duduk di semester akhir Institut Pertanian Bogor. Di saat mereka belum
menyelesaikan kuliah, mereka coba-coba mendirikan lembaga kursus
komputer kecil-kecilan di Depok, Jawa Barat. Modal untuk menggulirkan
usaha hanya lima unit komputer PC IBM XT 8088 dan kenekatan. Mereka
setiap hari bolak-balik Depok-Bogor. “Pagi kuliah dulu di Bogor, lalu
siang dan sore meluncur ke Depok untuk ngajar,” tutur Naba, yang bersama
teman-temannya memanfaatkan jasa transportasi kereta api Bogor-Depok,
yang setiap jam melintas.
Tidak tanggung-tanggung, di saat perintisan usaha, kelima personel
ini terjun melakukan semua hal bersama. Mulai dari menjadi tenaga
administrasi, tenaga pengajar, hingga berpromosi dengan membuat dan
memasang spanduk di tiang listrik di seputar Kota Depok, semua mereka
lakukan sendiri.
Menurut Naba, proses pengenalan lembaga kursusnya tidak mudah. Saat
itu Depok belum seramai sekarang. Depok masih senyap, karena belum
banyak mal dan kampus seperti sekarang. Sehingga, sulit mencari siswa.
“Dalam sebulan kami hanya mendapatkan lima orang,” kata Naba, Direktur
BSI yang kini menginjak usia 39 tahun. Toh, kondisi tersebut tak
memudarkan semangat mereka. Bisnis terus dilanjutkan. Dan terbukti,
pelan-pelan, dari bulan ke bulan ada penambahan jumlah murid.
Bahkan, saking optimistisnya, sekitar 6 bulan kemudian Naba dan
keempat kawannya menyiapkan tambahan tempat kursus baru di pinggiran
Jakarta, persisnya di Pondok Labu, Jakarta Selatan. “Kami memberanikan
diri mengontrak ruko di dekat pasar,” ujar Naba. Setelah itu,
berturut-turut mereka membuka cabang baru di Ciputat dan Bekasi di tahun
berikutnya dengan sistem kontrak. Namun apa daya, gayung rupanya tak
bersambut. Respons pasar tidak seperti yang mereka harapkan: jumlah
peserta sedikit. Tak mengherankan, mereka terpaksa menutup cabang di
Ciputat dan Bekasi itu. Mereka memang masih mengembangkan bisnis dengan
pola trial and error sehingga harus terbentur di sana-sini. Tanpa
pengalaman.
Belajar dari berbagai kegagalan, lima sekawan ini kemudian mencoba
mengubah strategi. Setelah sebelumnya mengandalkan pendekatan
ritel/individual, mereka lalu mencoba pendekatan institusional. “Kami
bekerja sama dengan SMA-SMA,” tutur Naba. Hal ini digabung dengan
strategi harga murah. Biaya pendidikan dipatok serendah mungkin agar
bisa dijangkau kebanyakan siswa didik. Ketika itu biayanya hanya Rp 10
ribu/bulan tiap siswa. Dari uang siswa sebanyak itu pun, separuhnya
dikembalikan ke sekolah yang muridnya dikursuskan di LPK BSI. Hampir
semua SMA negeri di Depok diajak bergabung oleh Naba dkk. Ternyata, pola
ini efektif karena jumlah siswa BSI terus bertambah secara signifikan
dari tahun ke tahun.
Perkembangan positif inilah yang menambah optimisme lima sekawan ini
untuk makin serius menggulirkan bisnis pendidikan. Maka, pada 1990,
setelah melihat pesatnya pertumbuhan, mereka berani membeli lahan seluas
1.000 m2 dan bangunan lima lantai di Pondok Labu, yang mereka jadikan
sebagai pusat pendidikan (kampus). Namun, mereka tak merogoh kocek
sendiri untuk membeli properti sebesar itu karena memang tak punya cukup
uang cash. Mereka meminjam ke Bank Danamon, sebesar Rp 400 juta. Lahan
dan bangunan itulah yang dijadikan agunan ke bank. “Kami nekat saja.
Kalau tidak begitu, bagaimana bisa maju?” kata Naba seraya menjelaskan,
hari jadi BSI tanggal 3 Maret 1988.
Naba berkeyakinan, dengan kenekatan dan utang yang besar, mereka
pasti terpacu bekerja keras agar bisa mengembalikan utang itu. Terbukti
lima tahun kemudian, utang bisa dilunasi. Tentu, ini pun tak lepas dari
strategi dan keputusan menaikkan status lembaga, dari pusat kursus biasa
menjadi Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (AMIK) — ditandai
dengan pembukaan program pendidikan komputer setahun pada 1994. Praktis,
setelah mampu melunasi utang Rp 400 juta itu, pihak bank makin percaya.
Bank kemudian berani menawarkan pinjaman baru dengan nilai yang lebih
tinggi, mencapai Rp 1 miliar.
Hanya saja, Naba dkk. tak terburu-buru menerima tawaran kredit baru.
Betapapun, pihaknya tetap mesti hati-hati dalam berekspansi. Wajar,
tawaran kredit baru senilai Rp 1 miliar itu tak diambil semuanya. Mereka
hanya mengambil kredit untuk menyewa gedung dan membeli sarana belajar.
Tepatnya untuk pembukaan cabang BSI di pusat kota, di Kramat Raya.
Jadi, tidak membeli, hanya menyewa. Ternyata, keputusan itu tepat karena
ketika terjadi kerusuhan 27 Juli 1996 gedung kuliah di Kramat Raya ikut
terbakar hingga menghanguskan 50 unit komputer, bahan belajar dan data
mahasiswa. Berarti kerugiannya hanya ratusan juta. Bayangkan kalau
gedung itu milik sendiri, tentu kerugiannnya akan berlipat-lipat.
Sewaktu krisis moneer, usaha lima sekawan ini benar-benar dalam
terpaan badai. “Ketika itu, tiap bulan kami sempat harus bayar utang
sampai Rp 60 juta. Kelimpungan juga,” tutur Naba yang asli Purworejo.
Untung, berkat upaya untuk terus bertahan yang tak pernah pupus, BSI
berhasil survive. Waktu itu manajemen BSI merasa harus bertanggung jawab
melangsungkan pendidikan bagi 500 mahasiswa BSI. Tak mengherankan,
pascakrisis, kampus BSI di Kramat Raya difungsikan kembali, bahkan
ditambah jumlahnya. “Kini kami sudah punya empat gedung di sekitar
Kramat,” katanya bangga. Keempat gedung itu masing-masing berlokasi di
Kramat Raya 16 dan 168, serta Salemba 22 dan 45. Gedung-gedung baru itu
mereka dapatkan dari hasil lelang properti Badan Penyehatan Perbankan
Nasional yang mereka beli total sekitar Rp 5 miliar — lagi-lagi, untuk
membeli properti lelang itu, Naba dkk. juga meminjam dana ke bank. Kini,
dari 20 ribu mahasiswa BSI, separuhnya kuliah di BSI di Jalan
Salemba-Keramat Raya itu.
Selepas krismon, boleh dibilang perkembangan BSI semakin moncer.
Berturut-turut dibuka program baru: sekretaris, bahasa (Cina dan
Inggris), serta komunikasi (PR, periklanan dan penyiaran). Tahun 2004,
sebagai upaya diversifikasi, mereka membuka Akademi Pariwisata, bekerja
sama dengan Inna Garuda. Kampus BSI pun berkembang, selain di Depok dan
Jakarta, juga di Tangerang, Bogor, Cikarang, Karawang, Cikampek,
Bandung, Tasikmalaya, Purworejo, Solo dan Magelang. Total ada 36 kampus,
baik pendidikan informal berupa kursus sampai pendidikan formal akademi
dan sekolah tinggi (STMIK Nusa Mandiri).
Tentu saja, ini menjadi catatan menarik karena ekspansi lembaga
pendidikan tidaklah semudah ekspansi bisnis ritel. Maklum, ini
melibatkan pula berbagai regulasi dan perizinan yang sering
berbelit-belit. Untuk ekspansi, di beberapa kota BSI mencoba melebarkan
sayap membangun unit lembaga kursus baru yang kemudian ditingkatkan
statusnya menjadi akademi setelah mendapat izin Direktorat Perguruan
Tinggi. Namun di beberapa kota, seperti Serpong, Bogor dan Bandung, BSI
mengambil alih izin akademi yang telah berdiri. Seperti di Serpong, BSI
mengambil alih PTMI yang tidak bisa lagi berkembang, tahun 2004. Di
Bogor, giliran AMIK Widya Sarana diakuisisi pada tahun yang sama. Di
Bandung, pada 2005 BSI mengambil alih AMIK Mulya Mitra serta Akademi
Sekretaris dan Manajemen Bandung. Adapun di Tasikmalaya, BSI
mengakuisisi AMIK Sukapura.
Cara akuisisi BSI bisa disebut unik. Maklum, yang diambil alih hanya
izin pengelolaan dan mahasiswanya. Sementara aset gedung dan karyawan,
tidak. BSI merekrut tenaga pengajar baru dan mencari lokasi kampus baru
setelah mengambil alih pengelolaan. “Mereka tidak concern mengelola dan
kalah persaingan,” kata Naba tentang akademi yang diakuisisi. Ia kerap
mendapat informasi dari pemerintah dan kolega di asosiasi perkumpulan
perguruan tinggi ketika ada akademi yang kesulitan dan mau dijual.
Hebatnya, begitu diambil alih BSI, jumlah mahasiswa langsung tumbuh
secara signifikan. Menurut Naba, itu berkat brand BSI yang sudah bagus
dan sarana pendukung pendidikan yang lengkap meski biaya kuliah
terjangkau (sekitar Rp 900 ribu/semester). Apalagi, kini BSI menerapkan
biaya kuliah dan fasilitas yang seragam di setiap kampus.
Jahja B. Sunarjo, pengamat bisnis, melihat BSI menembak segmen yang
tepat, karena kini persaingan bagi lulusan sekolah lanjutan untuk masuk
ke perguruan tinggi terkenal, sangat ketat. Sehingga, akademi seperti
BSI memberikan alternatif. Apalagi, model edukasinya terapan dan bisa
cepat diserap lapangan kerja. “Ini memang yang dituntut kebanyakan
masyarakat,” kata Jahja. Ia menjelaskan, BSI mampu mengambil ceruk
segmen mahasiswa yang ingin cepat kerja dan biaya kuliah tak mahal.
Selain itu, BSI adalah kampus pertama yang berhasil menembus paradigma:
akademi pantang berpromosi. “Bukan cuma promosi, tetapi juga membangun
komunikasi dengan masyarakat. Di luar negeri, ini lumrah saja dilakukan
dan menjadi tren,” Jahja menerangkan
Fauzia Rahma, mahasiswa semester V Manajemen Administrasi ASM BSI,
mengaku senang kuliah di BSI. Menurutnya, selain mudah memilih program
studi, lokasi kampusnya juga bisa diatur. “Kualitasnya bagus, biaya
kuliah juga nggak mahal,” tutur Fauzia kalem. Materi kuliah pun mudah
dipelajari karena mahasiswa diberi catatan kecil yang bisa diunduh
(download) dari Internet melalui warnet. “Di sini kami juga sering
(mengikuti) acara seminar dan workshop yang bisa memberikan gambaran
dunia kerja itu seperti apa,” katanya. Yang menurutnya menarik, acara
job expo yang digelar dua kali setahun melalui BSI Career. “Cari kerja
jadi tidak pusing, saya juga bisa magang.”
Lima sekawan ini terlihat sangat solid dalam mengelola BSI. Mereka
saling mengisi. Pola bagi tugasnya berjalan dengan baik. Hingga kini,
Naba mengendalikan operasional BSI, dari akademis sampai perkembangan
cabang. Sementara Herman, sebagai Ketua Yayasan. Efriadi mengurusi
personalia, kualitas sumber daya manusia dan tenaga pengajar. Surachman
menangani penerimaan mahasiswa baru. Adapun Sigit bertanggung jawab atas
pemasaran dan promosi. Kelimanya bekerja terus tanpa ada saling iri.
Usia kelima sekawan ini masing-masing baru berkepala 3, tetapi mereka
tampak dewasa dan arif sehingga bisa menjadi tim yang solid untuk
membangun bisnis bersama.
BOKS
Menuju Cyber Campus
Mahasiswa biasanya selalu direpotkan dengan urusan administrasi tiap
awal dan akhir semester. Di awal semester, selain antre membayar SPP,
mahasiswa juga kudu mengambil formulir, berkonsultasi dan mengajukan
Kartu Rencana Studi (KRS). Di akhir semester, meski libur kuliah,
mahasiswa belum tenang kalau Kartu Hasil Studi (KHS) belum diambil.
Lagi-lagi, ini juga harus antre. Administrasi kampus sejatinya sama pula
repotnya. Kerepotan inilah yang sudah dipecahkan BSI dengan
mengimplementasi teknologi informasi. Melalui Biro TI, sejak 2003 BSI
mentransformasi sistem administrasinya hingga sepenuhnya menjadi
paperless. “Cuma ijazah yang harus distempel dan ditandatangani satu per
satu,” ujar Mochammad Wahyudi, dosen mata kuliah Security System yang
juga kepala Biro TI BSI.
Untuk membayar SPP, mahasiswa cukup datang ke ATM (sejak 1997 BSI
bekerja sama dengan BCA; kini, dengan 8 bank) atau menggunakan fasilitas
Internet banking dan mobile banking. Untuk mengisi KRS dan KHS,
mahasiwa tinggal melihat di Internet: cukup dengan memasukkan nomor
induk mahasiswa dan password — bisa juga melalui SMS dan interactive
voice responsel. Ujian pun tidak lagi memakai kertas fotokopian karena
soal ujian online dari Kantor Pusat BSI di Menara Salemba yang
dipancarkan melalui proyektor di tiap ruang kelas.
Dengan infrastruktur berbasis TI ini, tenaga administrasi dan
akademis yang dibutuhkan di tiap kampus rata-rata hanya tiga orang.
Bayangkan, dengan jumlah mahasiswa 20-an ribu orang dan 36 kampus,
betapa terbantunya backoffice bagian administrasi. Bukan itu saja, bahan
kuliah dan ujian juga melalui infrastruktur TI. Silabus, materi kuliah
tiap pertemuan, semua bisa diakses melalui Internet. Mahasiswa tinggal
datang ke warnet untuk mengunduh dari Internet. Mahasiswa bisa pula
bertanya dan berkonsultasi melalui Internet. Tanpa perlu bertatap muka
pun, mahasiswa bisa mendapat bimbingan tugas akhir dari dosen melalui
Internet. “Siswa dan pengajar dimudahkan teknologi di sini,” ujar
Wahyudi. Malah, jumlah kehadiran dosen hingga penghasilan mereka per
bulan pun bisa diakses melalui Internet dan telepon seluler. Wahyudi
mengklaim, kampus lain belum ada yang menerapkan sistem ini. Yang
menarik, sistem ini dikembangkan BSI sendiri.
http://dadang71.wordpress.com/2007/05/02/petualangan-lima-sekawan-membangun-bsi/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar